Pemikiran
tentang kejahatan korporasi, banyak menimbulkan pro dan kontra dikalangan ahli
hukum, khususnya hukum pidana. Di dalam hukum pidana ada doktrin yang
berkembang yaitu doktrin universitas delinguere non potest yaitu
korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana, ini dipengaruhi oleh
pemikiran yang menyatakan bahwa keberadaan korporasi dalam hukum pidana
hanyalah fiksi hukum, sehingga tidak mempunyai nilai moral yang diisyaratkan
untuk dapat dipersalahkan secara pidana (unsur kesalahan). Padahal dalam suatu
delik (tindak pidana) mensyaratkan adanya kesalahan (mens rea) selain
adanya perbuatan (actus reus).
Tindak pidana (crime) dapat
diidentifikasi dengaan timbulnya kerugian, yang kemudian mengakibatkan
timbulnya pertanggungjawaban atau criminal liability. Yang pada akhirnya
mengundang perdebatan adalah bagaimana korporasi mempertanggungjawabkan
atau corporate liability mengingat bahwa dalam kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subjek
hukum pidana adalah orang perorangan dalam konotasi
biologis yang alami (natuurlijke persoon). Di samping itu, KUHP juga
masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan
hukum dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana.
Terlepas dari apa yang diuraikan di
atas, kejahatan sesungguhnya tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan
masyarakat. Oleh karena itu, kejahatan bukanlah sebagai suatu variabel yang
berdiri sendiri atau dengan begitu saja jatuh dari langit. Semakin maju dan
berkembang peradaban umat manusia, akan semakin mewarnai bentuk dan corak
kejahatan yang akan muncul ke permukaan. Begitulah setidaknya, ketika umat
manusia belum menemukan alat canggih seperti komputer, maka yang namanya
kejahatan komputer tidak pernah dikenal. Baru setelah komputer merajelela di
berbagai belahan dunia, maka orangpun lalu disibukkan dan direpotkan pula
dengan efek samping yang ditimbulkannya yaitu berupa kejahatan komputer.
Demikian pula halnya dengan corak
kejahatan di bidang perbankan, kejahatan terhadap pencemaran lingkungan hidup, money
laundering,[5] kejahatan di bidang ekonomi; korupsi dan lain-lain, semua
kejahatan ini lahir dan tumbuh seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dicapai oleh manusia. Kejahatan-kejahatan ini adalah termasuk
dalam kategori kejahatan kelas “elite”. Dikatakan “elite”, karena
tidak semua orang dapat melakukannya. Tidak dapat dibayangkan, bagaimana
mungkin preman, orang yang belakangan ini diuber-uber oleh aparat keamanan,
dapat melakukan kejahatan komputer, kejahatan alam maya (internet) atau money
laundering misalnya, yang nota bene membutuhkan pengetahuan dan
keterampilan tertentu. Kejahatan kelas “elite” ini tidak membutuhkan
tenaga fisik yang banyak. Kemampuan pikir merupakan faktor yang penting untuk
mencapai hasil yang berlipat ganda.
Namun sayang,
kejahatan jenis ini seringkali tidak terpantau dan bahkan dalam banyak hal
aparat penegak hukum justru kalah terampil dari pelakunya, baik itu yang berkenaan
dengan objek yang menjadi sasaran kejahatan maupun masalah pembuktian dalam
proses peradilan. Sehubungan dengan apa yang diuraikan di atas, maka persoalan
yang akan dikedepankan dalam konteks tulisan ini adalah, bahwa terdapatnya
perubahan (pergeseran) wajah pelaku kejahatan di Indonesia, yang disebabkan
oleh perkembangan pembangunan nasional kita. Pergeseran dimaksud adalah tentang
kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Pelaku kejahatan di sini bukanlah
manusia, tetapi adalah suatu kesatuan yang disamakan dengan manusia
Korporasi
Istilah
korporasi merupakan sebutan yang lazim dipergunakan di kalangan pakar
hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain,
khususnya dalam bidang hukum perdata, sebagai badan hukum atau yang dalam
bahasa Belanda disebut dengan rechtsperson atau yang dalam bahasa
Inggris disebut legal entities atau corporation.
Istilah badan
hukum itu sendiri, sebenarnya terjadi tiada lain sebagai akibat dari
perkembangan modernisasi. Ketika dalam alam yang masih primitif, suatu keadaan
masyarakat yang masih sederhana, kegiatan-kegiatan usaha hanya dijalankan
secara perorangan. Namun dalam perkembangannya kemudian, tumbuh kebutuhan untuk
menjalankan kegiatan usaha itu secara bekerjasama dengan beberapa orang (atau
dengan orang lain), yang mungkin atas dasar pertimbangan agar dapat terhimpun
modal yang lebih banyak, atau mungkin pula mempunyai maksud, dengan
tergabungnya keterampilan akan lebih berhasil dari pada jika dilaksanakan atau
dijalankan hanya dengan seorang diri. Mungkin pula atas dasar pertimbangan
dengan cara demikian mereka dapat membagi risiko terhadap kerugian yang mungkin
timbul dalam proses kegiatan kerjasama tersebut.
Menurut Chidir
Ali seperti dikutip oleh Erman Rajagukguk mengatakan, bahwa manusia yang
mempunyai kepentingan bersama, memperjuangkan suatu tujuan atau kepentingan
tertentu, berkumpul dan mempersatukan diri. Mereka menciptakan suatu
organisasi, memiliki pengurus yang akan mewakili mereka. Mereka memasukan dan
mengumpulkan harta kekayaan, mereka menetapkan peraturan-peraturan tingkah laku
untuk mereka dalam hubungannya satu dengan yang lain. Adalah tidak mungkin
dalam tiap-tiap hal mereka bersama-sama melakukan tindakan-tindakan itu dalam
rangka mencapai tujuan bersama tersebut. Pergaulan antar manusia dalam
kehidupannya menganggap perlu, bahwa dalam suatu kerja sama itu semua anggota
bersama-sama merupakan satu kesatuan yang baru. Suatu kesatuan yang mempunyai
hak-hak sendiri terpisah dari hak-hak para anggotanya secara pribadi. Kesatuan
yang mempunyai kewajiban sendiri terpisah dari kewajiban-kewajiban para anggota
secara individual. Subjek hukum yang baru dan berdiri sendiri inilah yang
dimaksudkan dengan badan hukum.
Dalam
perkembangannya lebih lanjut, tidak jarang kerja sama tersebut terjadi bukan
hanya sekedar dengan beberapa orang saja, melainkan dapat pula terjadi diantara
beberapa ratus atau bahkan ribuan orang, sebagaimana wujudnya sekarang yang
dapat dilihat perkembangannya di negara kita yaitu, dengan semakin menjamurnya
Perseroan-perseroan Terbatas (PT) yang telah menawarkan saham-sahamnya kepada
khalayak masyarakat lewat kebijakan go public-nya. Dan dalam
perkembangannya yang terkini, bahkan telah pula dilakukan dalam bentuk saling
menggabungkan diri untuk selanjutnya melakukan kerjasama dalah satu kesatuan
yang baru, yaitu apa yang sering dinamakan dengan merger. Hal ini
terjadi yaitu dengan tergabungnya dua atau lebih Perseroan Terbatas (PT)
misalnya, atau badan hukum lain.
Apa yang
disebut dengan badan hukum itu sebenarnya tiada lain sekedar suatu ciptaan
hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan dimana terhadap badan
ini diberi status sebagai subjek hukum. Sehingga subjek hukum secara singkat
dapat diartikan, yaitu mereka yang mempunyai hak dan kewajiban dalam hukum
yaitu manusia (natuurlijk person) dan sesuatu yang menurut kebutuhan
masyarakat oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban, yang terakhir
ini disebut badan hukum.
Dalam hubungan
ini, misalnya, seorang ibu yang hamil, kemudian suaminya meninggal dunia, hal
ini dapat menimbulkan pemecahan warisan. Anak itu walaupun masih berada
kandungan ia dianggap mendapat warisan. Oleh karenanya dapat dikatakan
kemampuan seseorang untuk menjadi subjek hukum, mampu menjadi pendukung hak dan
kewajiban adalah mulai dari seseorang itu masih berada dalam kandungan dan
berakhir dengan kematiannya.
Diciptakannya
pengakuan adanya suatu badan, yang sekalipun badan ini sekedar suatu badan,
namun dianggap badan ini dapat menjalankan segala tindakan hukum dengan segala
risiko yang timbul, terlepas dari pribadi-pribadi manusia yang terhimpun di
dalamnya, dalam hal ini mempunyai latar belakang pemikiran tersendiri. Adapun
latar belakang pemikiran penetapan Badan Hukum sebagai subyek hukum, mengutip
pendapat Rudhi Prasetya, menyebutkan:
“bahwa
terjadinya penetapan tersebut tiada lain sekedar untuk mempermudah menunjuk
siapa subyek hukumnya yang harus bertanggung jawab diantara sedemikian banyak
orang-orang yang terhimpun dalam badan tersebut, andaikata terjadi akibat
hukum, yaitu yang secara yuridis dikonstruksikan dengan menunjuk “badan” itu
adalah sebagai subjek hukum yang harus bertangung jawab.
Badan hukum
sebagai salah satu subjek hukum memiliki berbagai teori. Dari berbagai
teori tersebut, menurut Erman Rajagukguk dapat digolongkan dalam dua bagian
besar, yaitu:
Pertama: mereka yang
menganggap bahwa badan hukum itu sebagai wujud yang nyata, dianggap
mempunyai “panca indra” sendiri seperti manusia. Akibatnya, badan hukum itu
disamakan dengan orang atau manusia.
Kedua adalah, mereka
yang menganggap badan hukum itu tidak sebagai wujud yang nyata. Di
belakang badan hukum itu sebenarnya berdiri manusia. Akibatnya, kalau badan
hukum itu membuat kesalahan, maka kesalahan itu adalah merupakan kesalahan
manusia yang berdiri di belakang badan hukum itu secara bersama-sama tersebut.
Perbedaan teori
mengenai badan hukum ini mempunyai implikasi yang besar terhadap pemisahan
pertanggung jawaban antara badan hukum dan orang-orang yang berada dibelakang
badan hukum tersebut.
Kejahatan Korporasi
Adalah
merupakan realitas bahwa korporasi semakin memegang peranan yang penting
dalam kehidupan masyarakat, khususnya dalam bidang perekonomian. Keraguan pada
masa lalu untuk menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana yang
dapat melakukan tindak pidana dan sekaligus dapat dipertanggungjawabkan dalam
hukum pidana, sudah bergeser. Keberadaan korporasi dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, seperti dikatakan oleh I. S. Susanto,[20] telah
memberikan sumbangan yang besar baik berupa pajak maupun devisa, sehingga
korporasi nampak sangat positif. Namun di sisi lain kita juga menyaksikan
perilaku negatif yang ditunjukkan oleh korporasi seperti pencemaran, pengurasan
sumber daya alam yang terbatas, persaingan curang, manipulasi pajak,
eksploitasi terhadap buruh, produk-produk yang membahayakan kesehatan
pemakainya serta penipuan terhadap konsumen. Diantara perilaku-perilaku seperti
inilah yang kemudian oleh pakar disebut sebagai kejahatan atau tindak pidana
korporasi.
Tugas
kriminologi dalam konteks yang demikian itu seperti yang diutarakan oleh I. S.
Susanto adalah menganalisis sebab-sebab perilaku kejahatan melalui studi ilmiah
terhadap ciri-ciri penjahat dari aspek fisik, sosial, dan kultur. Oleh karena
kriminologi positivis dalam bekerjanya menghadapi kesulitan untuk menggunakan
batasan undang-undang, sebab undang-undang seringkali membedakan perbuatan
legal dan ilegal atas dasar batas-batas yang sangat tajam (“teknis”) yang tidak
ada hubungannya dengan ide sebab-sebab sehingga cendrung memberikan berbagai
“batasan alamiah” terhadap kejahatan, yang lebih diarahkan pada ciri-ciri
perilaku itu sendiri daripada perilaku yang didefinisikan oleh peraturan
perundang-undangan pidana. Misalnya Mannheim membela pandangan bahwa
kriminologi harus mempelajari seluruh perbuatan anti sosial, baik yang menurut
undang-undang dinyatakan sebagai kejahatan maupun yang tidak dinyatakan.
Sementara Sutherland dalam studinya terhadap kejahatan White Collar
Criminality (WCC) menganggap kejahatan sebagai perbuatan yang merugikan
masyarakat, baik yang diatur dalam undang-undang pidana maupun perdata,
administrasi dan perundang-undangan yang lain. Sedangkan Schwendingers
memandang kejahatan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Dalam
perkembangan lebih lanjut, pandangan terhadap (sebab) kejahatan mengalami
pergeseran. Menurut kriminologi kritis maka tingkat kejahatan dan ciri-ciri
pelaku terutama ditentukan oleh bagaimana undang-undang disusun dan dijalankan.
Maka oleh karena itu, tugas kriminologi kritis adalah menganalisa proses-proses
bagaimana cap jahat itu diterapkan terhadap tindakan tertentu dan orang-orang
tertentu. Ini mengandung arti, bahwa untuk memahami kejahatan, perlu dipelajari
seluruh proses kriminalisasi, dalam arti baik proses-proses yang mempengaruhi
pembentukan undang-undang yakni dijadikannya perbuatan tertentu sebagai tindak
pidana maupun dalam bekerjanya hukum yakni proses-proses yang menjadikan orang
atau orang-orang tertentu sebagai penjahat. Adapun yang dimaksud dengan proses
bekerjanya hukum adalah bagaimana aparat penengak hukum menyikapi suatu
perilaku tertentu dalam konteks kehidupan masyarakat.
Namun yang
jelas bahwa saat ini belum begitu banyak masyarakat yang mengetahui termasuk
aparat penengak hukum, oleh karena terpaku pada pandangan yang sempit dalam
memandang kejahatan, yaitu hanya bersifat yuridis formal bahwa kejahatan
korporasi merupakan kejahatan yang serius, bahkan lebih serius ketimbang
kejahatan perampokan dan penipuan. Hal ini disebabkan oleh karena dalam
kejahatan perampokan dan penipuan itu, korban yang terkena hanya terbatas pada
korban yang berhadapan langsung dengan pelaku, atau dengan kata lain bahwa
pelaku yang terkena kejahatan tersebut adalah tertentu dan terbatas sifatnya.
Dampak kejahatannya tidak mesti mengambil orang-orang (masyarakat) tertentu
sebagai korban.
Kemudian, dalam
hal kejahatan perampokan dan penipuan yang menimbulkan kerugian, jumlah
kerugian yang diderita oleh korban hanya terbatas dalam jumlah tertentu, sejumlah
nilai uang tertentu yang masih dapat diperkirakan. Sedangkan dalam hal
kejahatan korporasi yang juga menimbulkan kerugian, akan tetapi jumlah
kerugian yang diderita oleh korban tidak terbatas dan tidak dapat dihitung
secara pasti. Bahkan dalam kejahatan korporasi banyak hal-hal yang
merugikan tanpa dapat disangka dan diduga, seperti polusi udara, pencemaran
lingkungan hidup, hasil produk yang membahayakan kesehatan maupun keyakinan
agama dan lain-lain.
Lalu apakah
korporasi yang demikian itu bisa dipidana? Atau suatu keraguan yang masih
saja muncul yang mempertanyakan: benarkah atau mungkinkah suatu korporasi dapat
melakukan kejahatan ? Keraguan dan pertanyaan seperti ini adalah sebagai suatu
hal yang wajar muncul ke permukaan, karena alam pikiran yang masih diselimuti
oleh sosok yang kongkrit yang selama ini tergambar dalam benak seseorang, dan
sekaligus konstruksi yuridis selama ini berkembang hanya merumuskan manusialah
yang dapat disebut sebagai subjek hukum dan sekaligus sebagai pelaku
kejahatan. Pertanyaan di atas dijawab dengan cara yang sangat sederhana oleh J.
E. Sahetapy dengan merumuskan pertanyaan secara analogi, dapatkah suatu
korporasi melakukan suatu perbuatan atau suatu tindakan hukum, terlepas dari
apakah itu bertentangan atau tidak dengan ketentuan-ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Akan menimbulkan suatu perasaan yang aneh dan
secara logika adalah suatu kontradiksi bilamana suatu korporasi dapat melakukan
suatu perbuatan atau tindakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, tetapi
pada pihak lain tidak mungkin suatu korporasi melakukan suatu tindak pidana.
Apa yang
diuraikan di atas agaknya sudah cukup jelas, oleh karena memang keberadaan
(eksistensi) korporasi sebagai subjek hukum (pidana) itu ditentukan
dan didasarkan atas kekuatan peraturan perundang-undangan, suatu karya yang
diciptakan oleh hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam lalu lintas
hukum, sehingga sungguh tidak masuk akal jika korporasi hanya dapat melakukan
tindakan yang melulu sesuai dengan aturan undang-undang (hukum) yang berlaku.
Manusia sendiri sebagai subjek hukum alamiah (natuurlijke persoon) dalam
beberapa hal juga melakukan pelanggaran hukum apalagi badan
hukum (korporasi) yang seperti diketahui berorientasi pada profit (laba/keuntungan),
maka adalah mustahil dalam aktifitas kegiatannya yang mengutamakan keuntungan
itu tidak pernah melakukan pelanggaran hukum.
Namun sebelum
beranjak lebih jauh, jika kita sudah sepakat bahwa korporasi benar-benar
dapat melakukan tindak pidana atau kejahatan, maka persoalan yang menarik untuk
dikedepankan adalah: apakah yang dimaksud dengan kejahatan korporasi itu
sesungguhnya ? Atau apakah yang menjadi ruang lingkup kejahatan yang dapat
dilakukan oleh suatu korporasi?
Mengutip
pendapat Mardjono Reksodiputro[24] yang mengatakan, bhwa tindak pidana
korporasi adalah merupakan sebagian dari “White Collar Criminality” (WCC).
Istilah WCC dilontarkan di Amerika Serikat dalam tahun 1939 dengan batasan:
“suatu pelanggaran hukum pidana oleh seseorang dari kelas sosial ekonomi
atas, dalam pelaksanaan kegiatan jabatannya”.
Perdebatan
ilmiah yang kemudian timbul, antara lain menyangkut pengertian tentang apa yang
sebenarnya dimaksudkan dengan “Crime Of Corporations” karena dalam
rumusan di atas yang dimaksud dengan: “…oleh seseorang … dalam pelaksanaan
kegiatan dalam jabatannya” adalah pengurus perusahaan. Meskipun
WCC ditujukan kepada pelaku manusia (Natuurlijk person), namun pada
akhirnya yang dinggap melakukan perbuatan tercela dan karena itu harus
dimintakan pertanggungjawaban pidana adalah perusahaan atau
korporasi tempat manusia yang bersangkutan bekerja. Rumusan pengertian WCC
di atas kemudian ditambah dengan unsur “penyalahgunaan kepercayaan” (violation
of trust). Yang dimaksud dengan kepercayaan ini adalah yang diberikan oleh
masyarakat. Suatu perusahaan dianggap telah menerima kepercayaan masyarakat,
untuk melakukan kegiatannya (dalam bidang perekonomian) secara jujur dan
bertikad baik. Ini yang dinamakan etika bisnis yang baik. Perusahaan-perusahaan
yang melakukan kegiatan yang merugikan masyarakat (misalnya penipuan dan
kolusi), telah menyalahgunakan kepercayaan tersebut dan kegiatannya termasuk
dalam pengertian WCC.
Atas dasar
pemikiran seperti inilah agakanya Marshall B. Clinard mengatakan bahwa,
kejahatan korporasi adalah merupakan kejahatan kerah putih, namun ia
tampil dalam bentuk yang lebih spesifik. Ia lebih mendekati ke dalam bentuk
kejahatan terorganisir dalam konteks hubungan yang lebih kompleks dan
mendalam antara seorang pimpinan eksekutif, manager dalam suatu tangan. Ia juga
dapat berbentuk korporasi yang merupakan perusahaan keluarga. Namun
semuanya masih dalam rangkaian bentuk kejahatan kerah putih.
Kejahatan kerah
putih timbul dari pemikiran dan paham ilmuwan sosioeconomic yang
berpendapat bahwa secara struktural kejahatan yang dilakukan oleh upper
class adalah lebih berbahaya ketimbang kejahatan yang dilakukan oleh lower
class. Maka konsekuensinya adalah, bahwa pemidanaan terhadap kejahatan
kerah putih harus dilakukan secara ketat dan tepat, atau dalam pemikiran yang
relatif, perlu adanya teori kriminologi yang baru yang membahas kejahatan kerah
putih.
Menurut
Sutherland, maka kejahatan kerah putih adalah “sebuah perilaku kriminal atau
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang dari kelompok yang
memiliki keadaan sosio-ekonomi yang tinggi dan dilakukan berkaitan dengan
aktifitas pekerjaannya”. Selanjutnya dijelaskan, bahwa kejahatan kerah putih
(WCC) sebagian besar berkaitan dengan kejahatan atau perusakan terhadap
kepercayaan yang ada. Kejahatan atau perusakan terhadap kepercayaan yang ada
ini, secara lebih luas dibagi dalam dua bagian atau tipe. Tipe pertama,
ialah penyajian atau pengambaran yang keliru, dan yang kedua adalah
duplikasi atau perbuatan bermuka dua. Tipe yang pertama berhubungan erat dengan
penipuan, pengecohan atau diperbudaknya seseorang. Sedangkan tipe kedua berkaitan
secara langsung dengan pengkhianatan kepercayaan maupun penipuan yang secara
langsung dilakukan tetapi tidak kentara; tidak terlihat secara kasat mata,
yaitu dengan cara mengelabui korbannya. Prinsip yang utama dari tipe yang kedua
ini adalah dengan membuat sebuah penampilan yang baik (bonafide) kepada
calon korban, menampilkan diri sebagai seorang yang profesional atau bisnismen
(usahawan) namun dibalik itu adalah bertujuan untuk mengeruk keuntungan yang
sebanyak-banyakanya dari calon korban, bagai musang berbulu domba.
Selanjutnya,
bahwa kegiatan yang dianggap sebagai kejahatan atau tindak pidana korporasi,
yang menimbulkan keresahan luas dalam masyarakat, adalah tindak pidana yang
menimbulkan kerugian besar. Kerugian ini tidak saja yang dapat dihitung dengan
uang, tetapi juga yang tidak dapat dihitung, yaitu misalnya hilangnya kepercayaan
masyarakat pada sistem perekonomian yang berlaku. Semua yang dilakukan dalam
konteks ini harus berhubungan dengan kegiatan ekonomi (perekonomian) dan atau
berkaitan dengan dunia bisnis.
Terlepas dari
apa yang diuraikan di atas, dilain pihak dari literatur-literatur yang ada,
dijelaskan adanya dua tipe dari kejahatan korporasi yaitu pertama Occupational
Crime dan kedua Corporate Crime. Occupational Crime adalah
bentuk perbuatan seseorang sekelompok orang yang berhubungan dengan pekerjaan.
Misalnya saja seorang majikan terhadap buruhnya, seorang dokter dengan
pekerjaannya, seorang lawyer terhadap kliennya, dan lain-lain. Occupational
Crime juga dapat terjadi apabila seseorang melakukan penggelapan
(kejahatan) pajak yang berkaitan dengan pekerjaannya.
Corporate Crime
adalah bentuk kejahatan yang berkaitan dengan korporasi. memang agak
membingungkan antara keberadaan kejahatan korporasi dengan kejahatan occupational.
Namun apabila seseorang melakukan pekerjaannya dalam sebuah korporasi dan
melakukan penyimpangan dalam korporasi tersebut, maka itu adalah kejahatan
korporasi, namun sebaliknya apabila ia melakukan penyimpangan semata-mata dalam
pekerjaannya, maka itu adalah occupationl crime. Dalam konteks ini yang
disorot adalah kejahatan yang dilakukan oleh korporasi yakni corporate
crime.
Keberadaan
korporasi sebagai pelaku bisnis sudah dikenal beberapa abad yang lampau,
meski pada mulanya lebih ditekankan pada kerja sama (asosiasi) daripada tujuan
untuk pemanfaatan terhadap penyediaan modal (berupa saham) seperti pada
umumnya. Namun dalam konteks korporasi sebagai pelaku bisnis dikaitkan
dengan kejahatan yang dilakukannya, penulis dalam hal ini mengikuti pendapat
Mardjono Reksodiputro yang mengatakan, bahwa tindak pidana korporasi harus
dilihat sebagai bagian dari WCC, seperti yang telah diuraikan di atas, adalah
dalam rangka untuk membedakannya dari pelanggaran hukum pidana atau
ketentuan pidana yang dilakukan oleh perusahaan atau usaha dagang yang
berlingkup kegiatan ekonomi atau bisnis dengan skala kecil atau terbatas. Tidak
ingin dimasukkan dalam pengertian tindak pidana korporasi dalam rangka tulisan
ini, misalnya penipuan atau perbuatan membahayakan yang dilakukan oleh warung
atau toko di lingkungan pemukiman kita atau oleh bengkel reparasi kendaraan bermotor
yang berskala kecil. Permasalahan hukum pidana yang timbul sehubungan dengan
pertanggung jawaban dan kesalahan jusrtu ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan
berskala kegiatan besar. Dalam kegiatan pembangunan perekonomian kita selama
dua dasawarsa yang lalu, yang telah menumbuhkan berbagai perusahan besar, maka
hukum, termasuk hukum pidana dituntut untuk turut berkembang agar dapat
mengantisipasi penyalahgunaan kemajuan yang telah dicapai itu yang berakibat
merugikan masyarakat dan negara.
Permasalahan
hukum pidana menghadapi kejahatan korporasi ini adalah justru
disebabkan oleh karena perbuatan pidana korporasi itu selalu dilakukan
secara rahasia, sukar untuk diketahui dan dideteksi dan bahkan sering kali para
korbanpun tidak mengetahui kerugian yang sebenarnya dialaminya. Apa yang
biasanya terlihat hanyalah “puncak gunung es” saja. Karena hanya sedikit
kasus-kasus tindak pidana korporasi yang diungkapkan untuk diajukan ke
pengadilan, maka menuntut pertanggung jawaban korporasi akan memberikan efek pencegahan
yang lebih besar ketimbang meminta pertanggung jawaban dari pengurusnya.
Tentunya tidak menutup kemungkinan untuk secara bersama juga menuntut orang
yang langsung bertanggung jawab atas perbuatan korporasi tersebut.
Keterlambatan
kita dalam menghadapi kejahatan korporasi, seperti diuraikan di atas mengutip
pendapat I. S. Susanto mengatakan ini tiada lain akibat “kebodohan kita
bersama”. Penelitian-penelitian tentang kejahatan korporasi mengungkapkan
bahwa sebagian besar masyarakat kurang mengenal terhadap kejahatan korporasi
atau bahkan seringkali kurang menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh kejahatan
ini. Akar ketidaktahuan masyarakat ini antara lain dikarenakan oleh
ketidakanampakan kejahatan korporasi yang disebabkan oleh kompleksnya kecanggihan
perencanaan dan pelaksanaannya, oleh karena tidak adanya atau lemahnya
penegakkan dan pelaksanaan hukum, dan oleh lenturnya sanksi hukum dan sanksi
sosial, sehingga gagal dalam menguatkan dan menegakkan kembali sentimen
kolektif terhadap ikatan moral.
Namun di lain
segi juga menggambarkan bahwa penelitian mengenai kejahatan
korporasi termasuk juga di dalamnya penelitian terhadap tindak pidana
korupsi, selalu akan membentur tembok bisu yang menakutkan. Ditambah dengan
pers yang hanya “hari-hari omong kosong”, maka sukarlah sekali untuk
mengungkapkan kejahatan korupsi dan pelaku kejahatan korporasi. Maka oleh sebab
itu, benarlah secara kriminologis, bahwa “anjing-anjing tidak pernah saling
menggigit”. Anjing besar hanya akan menggigit si pembongkar kebusukan. Dan
anjing-anjing kecil hanyalah melolong belaka berhadapan dengan anjing besar.
Jadi ungkapan “anjing-anjing besar tidak saling menggigit” dan “hukum
pidana ibarat air mengalir ke bawah” perlu ditelaah kembali dalam mengkaji
ulang kejahatan korporasi dan korupsi sebagai kejahatan yang termasuk dalam
kelompok WCC.
Korporasi
seperti diuraikan di atas, mempunyai ruang lingkup yang bersifat komplek baik
ditilik dari sudut proses bekerjanya maupun dampak atau akibat yang ditimbulkan
yang merugikan masyarkat, sehingga konsekuensinya, penanganan melalui sarana
hukum pidana juga harus mengalami pergeseran konstruksi yuridis. Maka
dengan demikian apabila kita masih menggunakan pendekatan yang bersifat
tradisional (fundamental approach) maka fungsi hukum pidana akan selalu
diarahkan terutama untuk mempertahankan dan melindungi nilai-nilai moral. Dalam
hal ini kesalahan (guilt) akan selalu merupakan unsur utama dalam syarat
pemidanaan dan biasanya hal ini akan berkaitan erat dengan teori pemidanaan
yang bersifat retributif.
Dalam
perkembangan kemudian, menurut Muladi yang mengatakan bahwa pendekatan yang
bersifat tradisional tersebut mulai bergeser kearah pendekatan utilitarian (utilitarian
approach) dan dalam hal yang terakhir ini hukum pidana dan sanksi pidana
dianggap merupakan salah satu dari sekian sarana yang oleh masyarakat dapat
digunakan untuk melindungi dirinya dari perilaku yang dapat membahyakan
masyarakat tersebut. Kegunaan
sanksi pidana dinilai dari sudut apakah dengan mengenakan sanksi tersebut dapat
diciptakan kondisi yang lebih baik. Apabila pandangan fundamentalis
menitikberatkan pada ancaman terhadap perasaan moral masyarakat sebagai alasan
pembenar terhadap pengguanaan sanksi pidana, maka pandangan uitilitarian
melihat public order sebagai sarana perlindungan.
Dalam proses modernisasi dan
pembangunan ekonomi yang semakin meningkat, muncul perkembangan baru dalam
kaitannya dengan ruang lingkup dan fungsi hukum pidana dan sanksi pidana.
Hukum pidana dalam hal ini dijadikan/digunakan sebagai sarana untuk
meningkatkan rasa tanggung jawab negara dalam rangka mengelola kehidupan
masyarakat modern yang semakin kompleks. Sanksi pidana antara lain digunakan
secara maksimal untuk mendukung norma hukum administrtif dalam berbagai hal.
Inilah yang dinamakan dengan administrative penal law yang termasuk
dalam ruang lingkup public welfare offenses.
Dalam hal tindak pidana semacam ini,
pemidanaan dilakukan atas dasar tingkat kesalahan subyektif, dan dalam konteks
ini muncul bentuk pertanggug jawaban dalam hukum pidana yang disebut strict
(absolut) liability yang meninggalkan asas mensrea, sebagai
refleksi kecenderungan untuk menjaga keseimbangan kepentingan sosial.
http://rivvei.blogspot.com/2013/01/kejahatan-korporasi-dalam-perspektif.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar